Hati-Hati Anak ABG Anda

Miris. Empat hari lalu saya mendengar seorang laki-laki yang sudah berkeluarga, berusia sekitar 24 tahun, membonceng gadis ABG yang masih duduk di kelas VII SMP. Si gadis ABG ini fisiknya memang bongsor, melampaui usinya yang masih berumur 13 tahun. Sebelum boncengan si gadis ABG menunggu pujaan hatinya dengan pakaian yang bisa menipu orang. Kerudungnya dibelitkan ke mulut, untuk menutupi wajahnya agar tidak dikenal.

Tetapi bagi masyarakat yang hidup secara guyub di kampung tak kesulitan mengenalnya. Berita pun segera menyebar. Sementara dua sejoli yang dimabuk asmara itu entah menuju kemana.

Saya mengenal si laki-laki karena kebetulan satu desa, meski rumahnya lumayan jauh dari rumah saya. Ia lulusan sebuah perguruan tinggi negeri. Selesai kuliah ia menjadi tenaga pustakawan di sebuah Sekolah Dasar. Kira-kira setahun menjadi pustakawan, ada suatu peristiwa yang tidak patut dilakukan. Ia menjalin hubugan asmara dengan gadis ABG yang masih kelas VI di sekolah itu. Dan ia memanfaatkan perpustakaan sebagai tempat pertemuannya dengan si ABG tersebut.
Awalnya pihak sekolah tidak tahu peristiwa ini. Tetapi teman-teman sekolahnya banyak yang tahu karena ada pemandangan ganjil di perpustakannya. Sebut saja, pustakawan ini selalu terlibat pembicaraan berdua. Melayaninya dengan sepenuh hati. Sementara pada siswa yang lain memperlakukan secara diskriminatif. Cuma meski temannya banyak yang tahu, tak ada satu pun yang melapor kepada guru.

Bau bangkai tidak bisa ditutupi. Akhirnya guru pun tahu karena setiap lewat perpustakaan, terutama pada jam-jam istirahat, selalu saja pustakwan ini terlihat berdua dengan si gadis ABG. Perbuatan tak etis ini kemudian dilaporkan kepada kepala. Melalui rapat, akhirnya pustakawan ini diberhentikan dengan hormat sebagai pustakawan, kira-kira setengah tahun yang lalu.

Si gadis ABG pun tamat dari SD, dan melanjutkan ke SMP. Ternyata hubungan dengan mantan pustakawan yang sudah beristri itu rupanya terus berlanjut. Empat hari lalu, mereka janjian lagi hingga boncengan ke tujuan yang sulit terlacak. Beberapa hari setelah kejadian itu saya mendengar gadis ABG ini sudah tidak masuk sekolah lagi. Mungkin karena malu. Hingga datang informasi lagi kemarin, gadis ABG justru kabur bersama ibunya ke jawa, daerah asal ibunya.

Rupanya si ABG ini dibesarkan dalam keluarga yang penuh konflik. Lingkungan dimana ia dibesarkan juga tidak sehat. Satu orang anggota keluarganya bahkan dulu sempat menjadi TO polisi, karena diduga terlibat dalam peredaran judi togel dan narkoba.

Sementara laki-laki yang sudah beristri ini, menurut temannya, memang play boy di kampusnya. Ketika ia dulu kuliah, ibunya pernah pingsan gara-gara tahu anaknya selalu ‘memainkan‘ perempuan. Ibunya memang tinggal sendiri, karena suaminya sudah meninggal ketika anaknya ini masih SMA.

Rupanya watak play boy ini belum sembuh, meski ia sendiri sudah berkeluarga. Saya membayangkan, betapa pedihnya penderitaan si istri saat tahu suaminya menjalin asmara terlarang, justru dengan anak-anak yang mungkin patut menjadi adiknya.

Peristiwa ini menjadi pelajaran berharga bagi kita setidaknya dalam beberapa hal:

Pertama, sediakan lingkungan yang sehat dalam keluarga kita untuk kesehatan perkembangan fisik dan kejiwaan anak-anak kita. Anak yang dibesarkan dalam konflik, bisa mencari ketenangan sesaat yang akhirnya justru merugikan.

Kedua, dialog menjadi penting dilakukan orang tua untuk menyamakan pandangan dalam mendidik anak. Ketidaksamaan pandangan dalam mendidik anak, justru akan mengakibatkan anak ketidakseimbangan kepribadian.

Ketiga, lakukan komunikasi dua arah dengan anak. Ajak dialog tentang masalahnya, termasuk ketika ia sudah mengenal ketertarikan terhadap lawan jenisnya

Keempat, sediakan perisai untuk menangkis serangan asmara orang dewasa yang saat ini sering memanfaatkan kepolosan anak ABG, termasuk di lingkungan yang kadang kita percaya aman, seperti sekolah.

Keenam, seringlah mencari informasi tentang anak kita kepada guru di sekolah. Mempercayakan kepada sekolah sepenuhnya dalam mendidik anak, menurut saya, dalam situasi sekarang tidak mungkin. Dengan membangun kerjasama antara orang tua dan sekolah, bagi peran dalam mendidik anak akan saling mengisi.

0 komentar:

Post a Comment